Jumat, 18 November 2011

IBNU SINA



1.      RIWAYAT HIDUP SINGKAT

Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Al Husain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia lebih dikenal dengan nama Avicenna. Lahir di sebuah desa Afsyaha di daerah Bukhara pada tahun 340 H (980 M). Ibnu Sina dibesarkan di daerah kelahirannya. Ia belajar Al-Qur’an dengan menghafalnya dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti astronomi, matematika, fisika, logika, kedokteran dan ilmu metafisika.

Ketika umurnya belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran. Pada waktu Nuh bin Mansur, penguasa Bukhara menderita sakit, banyak dokter yang tidak mampu mengobatinya, maka setelah diperiksa dan diobati oleh Ibnu Sina ia menjadi sembuh. Pada usia 22 tahun ayahnya meninggal, kemudian dia pergi ke Jurjan dan ke Chawarazm. Hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain sampai di Hamadan. Di tempat ini ia menjadi seorang menteri. Ia meninggal pada tahun 428H/1037M pada usia 57 tahun.

2.      KARYA-KARYA
1) As-Syifa : Buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar dan terdiri dari empat bagian yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika.
2) Al-Syarat Wat-Tanbihat : Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik. Pernah diterbitkan di Leiden tahun 1892 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan diterbitkan di Kairo juga.
3) Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah : Buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud judul buku. Ada yang menyatakan buku ini mengenai tasawuf dan naskahnya yang masih ada memuat bagian logika.
4) Al-Qanun Atau canon of medicine : buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas di Eropa.
5) Mujiz, kabir wa Shaghir : Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.

3.      AJARAN

A.    TEOLOGI
Ibnu Sina merupakan murid al Farabi, jadi tidak mengherankan apabila banyak pemikiran yang memiliki kesamaan antara pemikiran Ibnu Sina dengan al Farabi. Dalam teori ketuhanan, keduanya membedakan wujud dari esensi dan menetapkan bahwa wujud sesuatu bukan merupakan bagian dari esensinya.
Kita bisa membayangkannya tanpa bias mengetahui ia ada atau tidak. Sebab, wujud merupakan salah satu aksidensia bagi substansi bukan sebagai unsur pengadanya. Prinsip demikian berlaku bagi Yang Maha Esa SWT, yang wujudnya tidak berpisah dari substansinya.
Berdasarkan jalan pikiran semacam ini, Ibnu Sina menyimpulkan bahwa kita tidak membutuhkan pembuktian yang panjang untuk menetapkan eksistensi Allah. Kita cukup mengetahui zat-Nya sekaligus. Bukti ontologis ini lebih bersifat metafisis dibandingkan fisis.
Hamzah Ya’kub menambahkan bahwa Ibnu Sina menganggap Tuhan adalah sebab yang efficient dari alam. Dengan kata lain, Ibnu Sina memandang hubungan sebab akibat dan betapakah sebab itu, datang pula Tuhan sebagai sebab. Tuhan bertindak dalam alam yang bergerak terus-menerus dalam wujud yang ada, sebagai sebab dirinya sendiri atau dibutuhkan oleh yang lain.




B.     POLITIK
Ibnu Sina mementingkan logika sebagai sumber pengantar untuk menyelidiki filsafat serta memandang perlu memperdalam Metafisika berdasarkan penyelidikan alam kodrat. Dalam pikiran manusia, keseluruhan itu ada setelah barang sesuatu itu ada karena merupakan abstraksi dari barang sesuatu yang khusus. Dengan demikian manusia baru dapat memikirkan sesuatu, setelah ada sesuatu itu, kecuali dalam pikiran Tuhan. Sesuai dengan Aristoteles, Ibnu Sina berpendapat bahwa sesuatu yang ada pertama kali dan abadi adalah kecerdasan (Intelegensia) yang langsung ditimbulkan oleh Tuhan. Kecerdasan ini harus ada dan tidak tergantung dari sebab yang lain. Adanya sesuatu yang lain itu, justru tergantung dari intelegensi yang ditentukan dan merupakan potensi didalam diri Tuhan.

Menurut Ibnu Sina materi itu bersifat abadi dan tidak diciptakan. Penciptaan berarti perwujudan potensi didalam materi, Tuhan memberi bentuk kepada materi. Tuhan memasukan bentuk sebagai potensi kedalam materi dan kemudian mewujudkannya potensi tersebut dengan menggunakan akalnya yang aktif.

C.      MORAL
Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum – minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum – minuman keras dilarang karena bisa menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.
Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum – minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obat.
Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan.